#CakNunMakinTuaMakinCerdasDanBijak
Cak Nun: 411 Baru Raka'at Pertama
8 November, 2016
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Ainun Nadjib
Andaikan kalah di satu pertempuran (battle), tidak mengagetkan bagi pasukan yang bersiap menjalani peperangan (war) yang panjang. Rakaat pertama yang umpamanya kurang utuh, niscaya mendorong rakaat-rakaat berikutnya akan menjadi lebih utuh dan khusyu. Ummat Islam Indonesia tidak memuncakkan perjuangannya pada 4 November 2016, lantaran mereka menata nafas untuk Jurus Rakaat Panjang dalam sejarahnya yang penuh tantangan, bahaya dan penderitaan.
Selama ini saya diberi citra bahwa setelah pemecah-belahan Uni Sovyet, Balkanisasi dan Arab Spring, kini ada gugusan gres persekongkolan internasional yang bekerja keras dan sangat strategis untuk menghancurkan Islam dan Indonesia. Kemudian agak lebih mengarah: merampok kekayaan Negara Indonesia, dengan cara memecah belah Bangsa Indonesia dan utamanya Ummat Islam. Sekarang sepertinya semakin terlihat penggambaran gres yang lebih spesifik dan akurat.
Yakni bahwa NKRI bukan akan dihancurkan, melainkan dimakmurkan, tetapi bukan untuk rakyat Indonesia. Kedaulatan politik, bangunan konstitusi, pasal-pasal hukum, tanah dan modal, alat-alat produksi, serta aneka macam perangkat kehidupan dan penghidupan – tidak lagi berada di tangan kedaulatan Bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia tetap dikasih makan dan sanggup ikut kecipratan sedikit kemakmuran, asalkan rela menjadi pembantu rumahtangga, karyawan, kuli, khadam dan jongos yang setia dan patuh kepada Penguasa gres NKRI, yang merupakan kongsi dari Dua Adidaya dunia. Syuraqoh, alias keserakahan, diteknokrasi sedemikian rupa.
Sukar saya hindari penglihatan bahwa yang paling sengsara di antara bangsa dan rakyat Indonesia yaitu Ummat Islam, lantaran mereka didera dua penjajahan. Di samping ada paket penguasaan atas NKRI, terdapat juga disain untuk mendevaliditasi Islam di kalangan pemeluknya. Ini berposisi sebagai cara atau taktik penguasaan NKRI, maupun sebagai tujuan itu sendiri untuk memaksimalkan deIslamisasi kehidupan bangsa Indonesia. NKRI tidak boleh menjadi Negara Islam, artinya boleh menjadi Negara Agama selain Islam.
Hampir selama 40 tahun, intensif 20-an tahun belakangan, saya keliling jumpa rakyat rata-rata 10.000 orang perminggu, untuk ikut memelihara keIndonesia, keutuhan NKRI, persatuan dan kesatuan antar golongan apapun yang dinding-dindingnya mungkin etnik, agama, parpol, madzhab, aliran, muara-muara kepentingan, segmen-segmen dan level. Agenda saya yaitu membesarkan hati mereka, merabuki optimisme penghidupan dan keyakinan akan masa depan mereka. Kalau orang bilang pluralisme, mereka saya himpun dan ayomi sebagai semacam keindahan orkestrasi. Kalau disebut toleransi, saya carikan formula, aransemen, modulasi sosial untuk puzzling dan saling paham atas batas-batas di tengah kemerdekaan.
Kalau ada kelompok terlibat bentrok dengan lainnya, saya disuruh menambal dan menyatukan kembali. Kalau ada yang diserbu, saya ditugasi untuk menyiapkan segala sesuatu untuk melindungi dan menampung. Saya minta kepada Tuhan biar dianugerahi ilmu untuk menemani rakyat, biar berada dalam keseimbangan hubungan, meracik skala prioritas dan tata-etika untuk disepakati, dengan menomersatukan keutuhan kemanusiaan dan kebangsaan. Saya ditarik untuk menemani mereka mencari solusi-solusi dalam rembug pengetahuan atau diskusi ilmu dan kasih sayang, minimal 5 jam, bahkan sering berlangsung hingga dilarang oleh Subuh.
Akan tetapi saya dan kami semua rahasia ditikam dari belakang. Kami dimunafiki: bilangnya satu dalam perbedaan, tapi rahasia di belakang punggung membuat pecahan-pecahan, menanam sikap yang menimbulkan amarah, kebencian, permusuhan dan dendam. Saya mengajak kaum Muslimin untuk “la ikroha fiddin” dan memahami metoda-metoda tasammuh atau toleransi, untuk secara rasional menata keIndonesiaan. Tetapi rahasia Kaum Muslimin digerogoti dari belakang: pergerakan-pergerakan sangat taktis dan strategis dari upaya-upaya deIslamisasi penduduk kampung-kampung, deIslamisasi Kraton, hingga deIslamisasi Pemerintahan Nasional, dengan plan dan timeline yang seksama, sangat kentara, bahkan terang-terangan dengan arogansi dan keculasan.
Bahkan Kaum Muslimin dicuci otaknya secara nasional untuk mempercayai bahwa demokrasi tetap gagal selama pemimpin nasionalnya berasal dari mayoritas. Demokrasi tercapai tepat jika pucuk pimpinannya yaitu tokoh minoritas. Kalau dominan berkuasa itu artinya diktator dominan dan intoleransi. Kalau minoritas berkuasa itu maknanya demokrasi dan keadilan. Kalau orang Islam dibunuh, itu usaha melawan radikalisme dan fasisme. Kehancuran Islam yaitu tegaknya keadilan dunia dan berkibarnya demokrasi. Penguasaan atas Kaum Muslimin dilakukan atas dasar subyektivitisme Ras dan Agama para pelakunya, jika Kaum Muslimin menolaknya dituduh rasis dan pelaku SARA. Ummat Islam dipaksa untuk mendapatkan kehendak kekuasaan, dan jika menolak mereka disebut memaksakan kehendak. Ummat Islam diinjak, jika bereaksi dituduh tidak toleran, anarkis dan radikal.
Sebenarnya selama puluhan tahun terakhir, proses abrasi hak milik, penjebolan kedaulatan dan penguasaan harta benda Ibu Pertiwi, juga pencurangan cara berpikir perihal mayoritas-minoritas menyerupai itu sudah berlangsung. Tetapi kemudian, sukar saya elakkan pandangan, bahwa melalui rekayasa penyelenggaraan kepengurusan yang gres atas institusi Negara, dengan tiga tajaman di ujung Trisula politiknya, serta pendayagunaan seluruh perangkat forum pengelolaan itu, termasuk kerjasama proaktif dengan media-media informasi tertentu, pun jangan lupa sebagian tokoh dan institusi atau organisasi Islam tertentu yang dipekerjakan: hal itu dipacu maksimal dan total. Sampai Tanah Air Ibu Pertiwi Indonesia bukan lagi milik pribumi orisinil Indonesia. Dari dingklik nomer satu di puncak kuasa hingga sejengkal tanah di pelosok desa, akan berangsur-angsur menjadi bukan lagi milik rakyat Indonesia.
Logika normalnya, siapa menolak kenyataan itu, akan hanya tersisa kawasan untuk menjadi gelandangan di kampung sendiri. Dan jika memberontak, akan dibunuh dengan aneka macam jenis dan kadar pembunuhan. Kalau pemberontakannya sangat merepotkan, maka harus dimusnahkan. Rakyat Indonesia dikelabuhi secara intelektual, dininabobo secara mental, ditipudaya secara politik dan hukum, ditelikung secara ideologi, dikanak-kanakkan melalui tayangan-tayangan, disesatkan pengetahuannya, dikebiri keksatriaannya, serta ditidak-seimbangkan cara pandang kehidupannya.
Para ilmuwan, pelopor atau para tradisionalis penghitung sejarah dipersilahkan menjelaskan bebendu sejarah yang sedang deras dilangsungkan itu melalui tema Perang Asia Pasifik, Perang Asimetris, Ku Bilai Khan seri-II, Manifestasi Dajjal yang “mensorgakan neraka dan menerakakan sorga”, kulit dan mata Ya’juj Ma’juj, “wong jowo gari separo cino londo gari sakjodho”, tafsir gres 500 tahun Sabdopalon Noyogenggong, atau apapun. Yang niscaya rakyat orisinil Nusantara Indonesia sedang dikurung oleh perampokan dan penjajahan besar-besaran, di mana mereka belum 10% menyadarinya.
Kalau para pejuang kebenaran 411 tidak memperoleh goal yang dimaksudkannya pada ‘pertempuran awal’, tidak boleh kaget dan malah perlu introspeksi total. Misalnya, lantaran medan perang dan target tembaknya dipersempit menjadi hanya Al-Maidah 51, yang di dalam ketersediaan pasal pidana tidak sukar untuk di-syubhat-kan. Tidak ada tonjokan perihal kasus-kasus korupsi, reklamasi, atau penyiapan Jakarta untuk pilot project disain penjajahan nasional. Lebih 90% kejahatan insan tidak selalu sanggup dijangkau oleh hukum: ketidak-berbudayaan dalam memimpin, ‘hawa’ negatif eksistensinya, kejinya ucapan, brutalnya tindakan, aura dan nuansa kebenciannya kepada Islam, dst.
Pejuang 411 terfokus pada setitik hilir dan belum menemukan determinasi terhadap hulunya yang dahsyat. Juga para pejuang 411 juga tidak tepat untuk meneruskan himbauan atau desakan kepada para pelaku sistem kekuasaan, institusi, pejabat Pemerintahan atau atasan-atasan, biar turut menembak target yang mereka tembak. Sebab harus berjaga-jaga siapa tahu mereka semua yaitu potongan dari suatu gugusan kekuatan yang justru bertugas menjaga jangan hingga target itu kena tembak.
Ummat Islam perlu melaksanakan ke dalam dirinya sendiri (Islam dan Kaum Muslimin) muhasabah komprehensif. Kaum Muslimin tidak sanggup menunda waktu lagi untuk lebih mengislamkan dirinya, lantaran itulah modal paling berpengaruh untuk mempertahankan Indonesia. Kaum Muslimin di setiap titik harus menyelenggarakan tahqiqi keIslaman hingga ke bawah umur dan cucu-cucu mereka. Menyusun tradisi budaya kependidikan Ta’limul Islam, Tafhimul Islam, Ta’riful Islam, Tarbiyatul Islam hingga tertradisikan Ta`dibul Islam. Setiap bulat Muslimin memastikan perkumpulan yang berlatih bersama untuk tidak ditimpa kemalasan berpikir, berpuasa dari egosentrisme kelompok, melawan tradisi amarah, atau memasrahkan persoalan-persoalan kepada para pemimpin, padahal pada dikala yang sama bekerjsama mereka tidak benar-benar percaya kepada pemimpin.
Ummat Islam tidak perlu melemahkan dirinya terus menerus dengan khilafiyah dan ikhtilafiyah, apalagi dengan tema-tema furuíyah. Aliran-aliran (produk tafsir) keIslaman tidak sanggup mengelak lagi untuk mulai duduk bersama, ber-majlis-fatwa bersama, memandu ummat mereka berhimpun dan bersatu di dalam kebijakan sejarah “wa amruhum syuro bainahum”. Mengkonsisteni keseimbangan berpikir, keadilan sikap, cerdas kapan hitam-putih kapan warna-warni, serta memastikan bahwa Ummat Islam tidak dipersatukan oleh kebencian bersama kepada pihak yang memusuhi mereka.
Melainkan berukhuwah sejati lantaran iman kepada Allah, cinta kepada Kanjeng Nabi dan penjunjungan kepada AlQur`an yang Yang Mahakuasa Sendiripun maha bekerja untuk menjaganya.
Termasuk tidak membiarkan kebiasaan praktis kagum, praktis terhanyut, mentakhayulkan idola, Satrio Piningit, Ratu Adil, atau bahkan. Syukur karenanya Yang Mahakuasa menghidayahi Ummat Islam untuk mempunyai keridlaan sebagai “ummatan wahidah”, ummat yang satu dan selalu menyatu. Dengan kepemimpinan yang juga satu, yang Yang Mahakuasa sendiri Maha Pengangkat dan Pelantiknya. Mohon mafhum ini bukan gagasan perihal Imamah.
Salah satu modal Kaum Muslimin yaitu mereka yang memusuhinya beranggapan dan meyakini, bahwa menurut teori peperangan: Kaum Muslimin Indonesia kalah hampir di semua segi. Modalnya, pengorganisasiannya, kohesi keummatannya, mesiunya, penguasaan medan dan cuacanya, soliditas pasukan-pasukannya yang jahr maupun yang sirr. Mereka juga menyangka bahwa hizbullah 4Nov yaitu citra maksimal kekuatan Kaum Muslimin.
Ada sejumlah dimensi, kekuatan, aura, energi, probabilitas “min haitsu la yahtasib”, immanensi “inna nahnu nazzalnadzdzikro wa inna lahu lahafidhun”, rahasia “wamakaru wamakarallah wallahu khoirul makirin” dst dst yang semua penguasa di dunia semenjak zaman Nabi Nuh hingga Abrahah serta para adidaya abad-abad mutakhir, tidak pernah serius memperhitungkannya. Apalagi untuk konteks Nusantara Penggalan Sorga dengan sejarah tanal liat dan Tapel, dengan Iblis Smarabhumi dan Izroil, yang dianggap klenik dan khoyal, sehingga akan membuat mereka salah sangka di ujung penjajahannya atas tanah berkah ini. Fa’álul-lima Yurid, Yang Mahakuasa Maha Bekerja mewujudkan kehendakNya.
Saya sendiri, bersama saudara-saudara yang bersama saya, hanyalah manusia, sehingga lemah dan tak berdaya. Yang Maha Kuat dan Maha Berdaya yaitu Yang Mahakuasa swt. Dan dengan segala ketidakberdayaan itu saya sudah berkali-kali membisikkan ke indera pendengaran para syuraqoh penindas insan dan penganiaya nilai-nilai hakiki Tuhan yang hari-hari ini sedang berbuat adigang-adigung-adiguna di Tanah Air Indonesia: “Tolong dipikir ulang, biar tidak menyesal kemudian”.
Ke mana-manapun berpuluh tahun saya menghimpun para pecinta Allah, berupaya menambah jumlah hamba-hamba biar dicintai Allah, “mengelola arus positif dan negatif menjadi cahaya”. Saya murung oleh permusuhan, selalu menikmati persaudaraan dengan semua makhluk Tuhan, dan saya tidak senang harus bersiap untuk kemungkinan lainnya.
Yogyakarta 8 November 2016.
Tag :
Kenduri Cinta Cak Nun
0 Komentar untuk "Cak Nun: 411 Gres Rakaat Pertama"
Note: Only a member of this blog may post a comment.