PENDAHULUAN
Nampaknya ketertarikan terhadap peri-kehidupan Wali Sanga akan lebih banyak diungkap melalui tradisi lesan dibandingkan tradisi tertulis. Hal ini lantaran eksistensi mereka memang telah melegenda menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Jawa. Keberadaan mereka selalu dikaitkan dengan penyebaran Islam di Jawa dengan dibumbui banyak sekali “keajaiban” yang menempel dalam perjalanan kisahnya.[1] Cerita-cerita lesan ini, sayangnya tidak dibarengi dengan hasil dari tradisi pencatatan yang berimbang dari masa sekitar kehidupan Wali Sanga sendiri. Cerita berbalut mitos itu secara umum gres tumbuh dalam naskah-naskah Jawa maupun tradisi oral yang lebih baru.[2] Meskipun demikian bukan berarti masyarakat Jawa kehilangan seluruh tuntunan dan wejangan (nasehat) keagamaan dari para penyebar Islam di Jawa tersebut.
Lontar Ferrara ialah karya tulis yang memuat petuah keagamaan yang diyakini berasal dari Jaman Kawalen[3] tersebut. Naskah ini ditulis di atas daun “Tal” (Lontar) yang terdiri dari 23 lembar berukuran 40 x 3,4 cm dan dikala ini tersimpan di Perpustakaan Umum Ariostea di Ferrara, Italia.[4] Oleh lantaran itu maka naskah ini sering diidentifikasi sebagai “Lontar Ferrara” atau “Kropak Ferrara”. Naskah ini secara sistematik berisi perihal panduan hidup semoga menjadi muslim yang kaffah dan pada dikala yang sama juga bertujuan menarik para pemeluk Islam gres dan impian semoga masyarakat Jawa membebaskan diri dari penyembahan berhala. Naskah ini ditulis dalam kondisi dimana komunitas muslim masih berjumlah sedikit.
Bagian awal dari Lontar Ferrara yang bercerita perihal sarasehan para wali diperkirakan ditulis dari era sekitar awal kala XVIII. Sedangkan teks lainnya yang berisi perihal wejangan keagamaan dan ini merupakan penggalan terbesar dari isi naskah, tidak diragukan mencerminkan kala XVI atau bahkan kala XV. Teks kedua ini banyak memakai kosa kata bahasa Jawa kuno, mirip dengan bahasa dalam kitab Pararaton. Teks kedua ini pun nampak merupakan salinan dari naskah lain yang lebih bau tanah usianya.[5] Jelasnya sanggup dikatakan bahwa sebagian besar isi Lontar Ferrara menyampaikan citra perihal prototype anutan keagamaan yang dikembangkan di sekitar era Wali Sanga.
Memang dalam era-era sebelum kala XVI, meski proses Islamisasi di Jawa meski terus berlangsung namun terkesan berjalan lamban. Ma Huan, seorang muslim Cina yang pernah mengunjungi pesisir utara Jawa pada 1416, dalam bukunya Ying-yai Sheng-lang mencatat terdapat tiga komunitas yang mendiami Jawa yakni kalangan muslim dari Barat, Orang Cina yang sebagian menganut Islam, dan para penyembah berhala. Tomé Pires ketika mengunjungi Jawa antara tahun 1512 hingga 1515 mencatat dalam Suma Oriental bahwa di pesisir Jawa banyak didiami pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang mulai menjadi kaya dan bertambah jumlahnya. Anak-anak mereka mulai menjadi orang Jawa dan mereka sendiri telah lebih 70 tahun hidup di sana. Catatan ini mengemukakan bahwa para pedagang muslim banyak yang menikahi perempuan pribumi yang telah diislamkan. Proses islamisasi selanjutnya berjalan cepat sehabis memasuki kala XVI. Apalagi sehabis dakwah Islam melembaga di Jawa dengan berdirinya Kesultanan Demak.[6]
Secara umum buku ini merupakan panduan awal bersifat mudah bagi masyarakat muslim di Jawa semoga menjalani hidup dengan mengandalkan anutan Rasulullah Saw dan menghindari banyak sekali bid’ah. Dalam pembahasannya naskah ini menukil sejumlah ayat Al Alquran dan hadits Nabi serta kitab-kitab klasik karya para ulama. Tulisan juga dihadirkan sebagai sumbangan dan perbaikan atas sejumlah kekeliruan yang dilakukan oleh G. W. J. Drewes, orientalis Belanda, dalam kajiannya perihal Lontar Ferrara, baik dari sisi pemahaman perihal Bahasa Jawa maupun konsep Islam.
SARASEHAN PARA WALI
Bagian awal sarasehan naskah Lontar Ferrara berisi perihal sarasehan (tukar pendapat) yang dilakukan oleh para wali yang terdiri dari delapan orang antara lain Pangeran Bonang, Pangeran Cerbon, Pangeran Mojoagung, Pangeran Kalijaga, Syaikh Bentong, Maulana Maghribi, Syaikh Lemah Abang[7], Pangeran Giri Gajah. Menurut naskah tersebut pertemuan ini dilaksanakan di Giri Gajah di Gunung Kedaton, Gresik, Jawa Timur pada hari Jum’at tanggal 5 Ramadhan tahun Wawu. Sarasehan ini dilakukan dalam rangka memperbincangkan tema perihal makrifat. Para wali diminta semoga mengemukakan i’tikad masing-masing dengan jujur dan diiringi dengan suasana saling mengingatkan apabila terdapat kasus iktikad dan tauhid yang masih keliru di antara para Wali.
Sebagian besar Wali menyepakati bahwa kasus iktikad dan tauhid mempunyai hubungan erat antara posisi kawula (hamba) dan gusti (Allah). Pangeran Mojoagung menyatakan bahwa eksistensi kawula menjadi tanda berlakunya pemujaan (ibadah) dan penghambaan terhadap gusti. Apabila seseorang tidak memahami kasus ini maka ia dianggap kosong pengetahuannya. Apabila hatinya mendua maka ia telah melaksanakan kesyirikan dan tidak sah imannya, lantaran tidak memahami dengan baik hakikat tauhid. Pangeran Cerbon menambahkan bahwa orang dikatakan telah makrifat apabila ahlul-iman telah menyadari posisinya sebagai kawula yang dikuasai dan diperintah, tidak bisa melihat yang menguasai dan memerintah namun selalu merasa diawasi (nora aningali tiningalan). Sedangkan berdasarkan Pangeran Kalijaga, makrifat itu tidak sanggup diserupakan. Baginya Gusti (Pangeran) itu mempunyai pengetahuan yang tepat sehingga tidak akan menyesatkan apa yang diperintahkan-Nya (Pangeran iku kang sampurna ing pangawruh, kang ora nasar sarehing Pangeran). Syaikh Bentong melanjutkan dengan menggambarkan kekuasaan Tuhan dengan perumpamaan bahwa Dialah Tuhan yang bisa berada dalam dua kondisi namun tidak ada duanya dan tetap esa.
Pembicaraan diantara para wali berjalan lancar. Mereka saling menyepakati dan menyempurnakan pendapat masing-masing. Namun suasana berubah seketika sehabis Syaikh Lemah Abang mengungkapkan keyakinannya sebagai berikut: “Iya Isun iki Allah, endi si malih, mapan orana malih, saking isun iki” (Iya saya inilah Allah, dimana yang lain, memang tidak ada lagi selain saya ini). Maulana Maghribi lantas mengkonfirmasi ucapan itu dengan menanyakan apakah yang berbicara ini ialah jasmani Lemah Abang sendiri. Sang Syaikh menjawab: “Nora amba ngrasani jisin malih, mapan dede jisin kang winicara malih, mapan semi amiyak terebeng, ajana rasa-rumasa, den sami tumeka ing pamanggih” (Saya tidak lagi berbicara perihal jasmani, lantaran memang bukan jasmani lagi yang dibicarakan, sekaligus membuka tabir penghalang, jangan ada lagi perasaan yang bukan-bukan, hendaknya sama-sama mencapai pengertian).
Maulana Maghribi membenarkan beberapa ungkapan Syaikh Lemah Abang, namun ia juga mengkritik bahwa ungkapan itu terdengar tanpa mempunyai rasa apalagi ketika diucapkan oleh sukma yang telah menyatu dengan jasmani. Sukma itu sendiri terikat dengan perbuatan (tingkah) jasmaninya. Itu merupakan ucapan yang tidak pantas didengarkan oleh orang lain. Pangeran Giri menasehati bahwa ungkapan Syaikh Siti Jenar itu mirip halnya gambung yang menancapkan talajung (pancang) sambil mengucap: “sapa weruha ingaran ingsun, yen tan ingsun ingaranana” (Siapa yang mengetahui namaku apabila saya sendiri tidak menyebutkannya).
Kewajiban pemain gambung ialah menari, lain itu tidak. Ia harus menari berdasar pakem (aturan dasar), ritme tarian, dan iringan tetabuhan serta melibatkan banyak sekali rasa sehingga menghasilkan seni tari penuh penjiwaan. Jangankan menyanyi, berbicara sekalipun dianggap telah melanggar aturan menari yang menjadi tanggung-jawabnya. Penari gambung yang menancapkan talajung, artinya ia telah melanggar aturan yang harus dijalaninya, mengobrak-abrik pakem, dan menciptakan gerakan-gerakan gres sehingga gambung rusak dan kehilangan ruhnya. Apalagi kalau itu dilakukan sambil berbicara dan mengenalkan siapa dirinya. Untuk dikenal ia seharusnya cukup menari dengan baik hingga pertunjukan selesai. Syaikh Lemah Abang telah keliru yakni ia gagal memahami anutan Islam dan membicarakan hal yang tidak pada kadarnya perihal posisi gusti dan kawula. Keyakinan ini boleh saja menjadi i’tikad pribadinya, namun i’tikad yang menyimpang itu dilarang dibicarakan apalagi diajarkan.
Para wali menasehati Syaikh Lemah Abang. Namun ia telah menutup diri dari semua nasehat itu. Bahkan Syaikh Lemah Abang kemudian meninggalkan majelis dengan tetap pada pendiriannya. Sambil beranjak ia sempat mengucap: “endi si malih, aja karoroan” (dimanakah yang lain, jangan dikira ada dua). Para wali kemudian tetap melanjutkan pertemuannya tanpa kehadiran Syaikh Lemah Abang. Diantara pembicaraan itu ialah perihal hubungan antara jasad dengan ruh. Perbincangan itu lantas diakhiri dengan kesepakatan bersama untuk tidak memperdebatkan perihal Tuhan dan Rasulullah, namun melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas mereka semua.
Tema sarasehan para wali sebagaimana terdapat dalam Lontar Ferrara sebagaimana diungkapkan sebelumnya merupakan goresan pena perhiasan yang relatif baru, yakni berasal dari kala XVIII. Topik sarasehan para wali untuk mengungkapkan keyakinan masing-masing mirip ini juga banyak ditemukan dalam sejumlah naskah klasik Jawa dengan banyak sekali variasi yang berbeda. Sebut saja contohnya “Serat Musawaratipun Para Wali” karya Raden Panji Natarata yang menceritakan pertemuan para wali di Masjid Agung Demak. Para wali digambarkan mempunyai keyakinan yang bermacam-macam dan banyak diantaranya tidak sesuai dengan ortodoksi Islam.[8]
Dalam versi Cirebon, sarasehan (riungan) para wali ini digambarkan terjadi di tiga kawasan yang berbeda. Pertama kali diselenggarakan di Masjid Demak. Dalam sarasehan ini Syaikh Siti Jenar telah memperlihatkan i’tikadnya yang keliru. Sunan Kudus menasehati semoga Syaikh Siti Jenar tidak berpikiran melantur alasannya ialah Tuhan tidak akan bersekutu dengan sesuatu yang baru (ciptaan). Pertemuan kedua dilaksanakan di Gunung Ciremai. Di sini Syaikh Siti Jenar mengajak seluruh wali semoga jujur mengemukakan keyakinannya. Ia sendiri menegaskan bahwa dirinya ialah Tuhan yang hak, Tuhan secara lahir dan Tuhan secara batin. Para wali yang lain tetap berupaya mengingatkan i’tikad Siti Jenar yang menyimpang ini. Namun ia malah menantang para wali semoga menjatuhkan sanksi terhadap dirinya. Sunan Gunung Jati lantas meminta semoga riungan (sarasehan) ketiga dilanjutkan di Masjid Agung Cirebon. Para wali yang lain telah hadir namun Siti Jenar menolak tiba lantaran merasa berselisih paham dengan yang lain. Sunan Gunung Jati lantas berinisiatif mengundangnya. Namun yang bersangkutan selalu menolak dengan banyak sekali dalih. Jika yang diundang ialah Syaikh Siti Jenar maka Sang Syaikh menolak lantaran dirinya sebagai Tuhan tidak menghendaki hal itu. Demikian juga kalau yang diundang ialah Tuhan maka tentu Tuhan mustahil menuruti kemauan para Wali, yang sejatinya ialah insan biasa. Setelah banyak sekali perjuangan dilakukan, kesudahannya Siti Jenar pun bisa dihadirkan. Diakhir pertemuan Siti Jenar dinyatakan bersalah dan dieksekusi mati di Cirebon.[9]
SHALAT DAN TAFSIR AL FATIĤAH
Bukan sekedar proposal untuk melaksanakan shalat, Lontar Ferrara bahkan memuat rukun-rukun shalat secara tertib beserta bacaannya. Bacaan-bacaan itupun lantas diterjemahkan sehingga masyarakat Jawa yang mendapat pengajaran diharapkan akan sanggup memahaminya dengan baik. Namun demikian tidak semua bacaan itu ditampilkan secara lengkap. Mungkin saja teks pada penggalan perihal pengajaran shalat ini dibentuk dengan maksud sebagai panduan untuk pengajaran shalat secara oral.
Bacaan Surat Fatiĥah yang menjadi salah satu rukun dalam shalat juga ditampilkan bahkan disertai dengan penafsirannya. Diantara penafsiran itu ialah kata bismillah dimaknai dengan “ingsun amet barekat lawan namaning Pangeran” (aku mencari barokah dengan nama Allah). Alhamdulillah dimaknai “Tuwan oleh puji” (Tuwan mendapat puji). Rabbi’l ‘alamina ditafsirkan “Tuwan kang angraksa alam kabeh, kang aweh nugraha ing kawula kabeh kang pangabekti awedi ing Pangeran” (Engkau ialah pemelihara seluruh alam, yang memberi anugerah kepada semua hamba yang berbakti dan takut kepada Pangeran(Allah)). Al-Rahman dimaknai “amurah ring dunya” (bersifat Murah di dunia) dan Al-Rahim ditafsirkan “Tuwan asih ring akerat, kang mukmin lanang lan wadon” (Engkau mengasihi Mukmin pria dan perempuan di akhirat). Maliki yawmi’l-din dimaknai “Tuwan ratuning dina kiyamat, kang angukumaken kabeh” (Engkau ialah penguasa hari kiamat, yang mengadili semua).
Selanjutnya Iyyaka na’budu ditafsirkan dengan makna “Tuwan kang sinembah sekehing alam kabeh” (Engkaulah yang disembah seluruh alam) dan iyyaka nasta’-inu dengan tafsiran “Tuwan amba jaluki tulung” (kepada Engkaulah hamba meminta pertolongan). Ihdinal’ l-sirat’ al-mustaqima dengan makna “teguhna amba jaluki dadalan wot siratal mustakim, lawan tetepna” (teguhkanlah hamba meminta di jalan jembatan siratal mustaqim (jalan yang lurus), dan tetapkanlah aku). Siratal ‘lladhina an-‘amta ‘alaihim dengan “den … dalane wong kang wus den wehi pakenak ika, kaya kang tuwna nugraha ika, kaya para nabi para wali ika, kaya wong aperang sabil ika” (tetapkan dijalan orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, mirip halnya jalan jalan orang yang telah Engkau beri karunia mirip para Nabi dan Wali-Mu, mirip jalan orang-orang yang telah berperang sabilillah).
Dalam menafsirkan Surat Al Fatihah, Lontar Ferrara juga mengingatkan semoga kaum muslim termasuk di Jawa jangan hingga berperilaku ibarat kaum Yahudi dan Nashrani (Kristen). Mereka selalu diingatkan semoga tidak menjadi orang yang dimurkai (sebagaimana Yahudi) dan tersesat (sebagaimana Nashrani). Ayat yang berbunyi “Ghairil ‘l maghdubi ‘alaihim” ditafsirkan “sampun Tuwan wehi pupurik kaya ing Yahudi Nashrani ika“ (Jangan Engkau beri kemurkaan sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani itu). “Wa-la’l-dhallina” ditafsirkan “sampun Tuwan sasaraken ing marga kang ora bener, kaumira baginda Isa ing mami; tegese ikulah amba teda ing Tuwan” (Janganlah Engkau sesatkan saya di jalan yang keliru sebagaimana kaum Nabi Isa, itulah yang hamba minta kepada Engkau).
Penafsiran bahwa penggalan final Surat Al Fatihah tersebut berbicara perihal kaum Yahudi dan Nashara merupakan penafsiran yang disepakati oleh ulama tafsir. Kesepakatannya ialah “Orang-orang Yahudi ialah mereka yang dimurkai dan orang-orang Nashrani ialah orang-orang yang sesat”. Tafsir Ibnu Katsir memperlihatkan Ibnu Hatim beropini bahwa ia belum pernah menemukan ada perselisihan di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat tersebut. Hal ini didasarkan hadits-hadits dari Rasulullah diantaranya ialah hadits yang diriwayatkan dari Hammad ibnu Salamah dari Sammak, dari Murri Ibnu Qatri dari Addi Ibnu Hatim sebagai berikut:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. perihal pekataan-Nya “Bukan jalan orang-orang yang dimurkai”, kemudian dia menjawab: “Mereka ialah orang-orang Yahudi”. Dan perihal perkataan-Nya “Dan bukan pula jalan-jalan orang yang sesat”. Beliau menjawab: “Orang-orang Nashrani ialah orang-orang yang sesat”.[10]
G.W.J. Drewes, andal javanologi Belanda, menilai bahwa Surat Al Fatiĥah dalam Lontar Ferrara tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dengan memakai paradigma atau visi mistis.[11] Tidak terang alasan Drewes beranggapan demikian. Nampaknya ia memang kurang memahami bahwa Surat Al Fatiĥah tersebut telah ditafsirkan dengan memakai model tafsir yang lebih bersahabat dengan penafsiran mu’tabar dalam tradisi Islam. Sedikit kekeliruan mungkin terjadi tetapi nampaknya bukan hal yang fatal.[12]
ETIKA HIDUP MUSLIM
Di antara isi Lontar Ferrara ialah wejangan yang dikatakan berasal dari seorang berjulukan Syaikh Ibrahim. Wejangan itu dijelaskan dalam 25 (dua puluh lima) poin, diantaranya ialah sebagai berikut:
- Menyesali sedalam-dalamnya tindakan dimasa kemudian yang keliru, yang tidak bermanfaat dan tidak baik, dan mengembalikan harta orang yang telah diambil secara aniaya. Jika tidak bias mengembalikannya maka mintalah kerelaan dari sang empunya semoga menjadi halal (analasa anebataken lampah kang karuhun, kang tanpa gawe, kang tanpa yukti, lawan arep angulihaken artaning wong kinaniaya. Yen tan kawasa angulihaken palampahana halal rewanging asawala, mangkadi i kang linaran atine abcik yang pasunga halal).
- Carilah (bertanyalah) ilmu dan berusahalah untuk mengamalkannya dengan kesungguhan (arep atatakena elmu, sakadare andika den lampahaken).
- Tidak akan mengucap kata-kata kecuali diperlukan[13], berupayalah untuk selalu menyebut nama Tuhan (Tan pati angucap-ucap tanseng sepi, nityasa anebut ing Pangeran).
- Sadarilah dalam hati bahwa diri berhutang pada Allah, baik dikala duduk, makan, tidur, juga dalam banyak sekali pekerjaan jangan melupakan-Nya (arep angaweruhi, yan kepotangan dening Pangeran ing jroning ati angandel, alungguh amangan turu, si salwiraning karya sampun lali ing Pangeran).
- Perbanyaklah amal perbuatan (anglestarekena lampah, lamun abawa rasa).
- Carilah seorang guru lantaran Rasulullah telah bersabda barangsiapa tidak punya guru maka setan akan menjadi guru. Jika tidak ada guru, carilah sanak saudara yang bisa memperlihatkan kebaikan dan anggap ia sebagai guru[14] (arep aduwe guru, karana sabda nira baginda Rasulullah alehisalam, sing wong tan ana gurune, setan minaka gurune, yen tan ana kang ginuroaken ameta wong sanak kang asring mamarahi kabcikan ikulah pinabagurua).
- Antara verbal dan hati harus sejalan. Jangan terlalu berangan-angan perihal dunia (arep sarta ing ati kalawan ing tutuk. Lawan tanjaa angangen-angen dunya).
- Tepatilah ucapanmu, setia dalam perbuatan, dan bertingkah laris baik (arep kukuh ing ujar, satya ing lampah, lawan paripolah abcik).
- Bersedia memelihara perut, penglihatan, mulut, ucapan. Sebab kalau sudah mengetahui keburukan dalam nafsu, maka tidak terhitung kecintaan dan kemauannya. Jika terlalu sering berkata-kata maka tidak kuasa hatinya membisu guna memohon kepada Allah, alasannya ialah kedurhakaan dalam ucapan lebih daripada kedurhakaan anggota tubuh lainnya (arep amasesa ing weteng, ing pandeleng ing pangucap, karana lamun wus weruh ing alane ing napsune iku, tan den itung tresnane, lan karepe. Lamun asring angucap-ucap tan kawasa meneng atine dening anambat ing Pangeran, karana doraka ring pangucap lewih saking doraka ing anggota kabeh).
- Melaksanakan syari’at dan agama, tidak berbincang-bincang dengan penganut qadariyah, kecuali terpaksa (anglampahaken kajat mikan ing syareat lan agama, tan angucap-ucap lawan kadariyah, liana saking tan upayane).
- Tidak makan dan minum kalau tidak lapar (atau haus), tidak tidur kecuali mengantuk (tan amangan tan anginum banyu lamun tan kaliwat luwene, tan aturu lamun tan kaliwat aripe).
- Tidak berbicara dengan perempuan yang menjadikan birahi (tan angucap lawan wong estri kaenggening tresna).
- Memelihara pandangan, tidak terlihat kecuali yang di depan mata, jangan sok ingin tahu isi rumah kaum mukmin, …[15] (rumaksan ing pandulu, tan tumingal lamun tan liana saking ayun, tan amemeruh aningali omahing wong mukmin, …).
- Selalu menjaga wudhu[16] (sanalika tan atingal banyu sembahyang)
- Tidak duduk bersama kaum munafik yang mempunyai sifat hasud, suka memfitnah, orang yang menyeleweng dari aturan agama, kecuali dalam keadaan terpaksa (tan arep alungguh lawan wong munapek kang asud, kang pitenah, kang amemekaken, liana saking tan ana upayane).
- Tidak sekedar membicarakan dunia, tidak bertengkar dengan sesama Islam (tan angrancana ujar dunya, tan asawala pada Islam).
- Tidak memastikan keberhasilan semua pekerjaan alasannya ialah memastikan hal mirip itu ialah munafik. Seharusnya muslim mengucapkan Insya’ Tuhan untuk urusan mirip itu (nora angucap amasti sapakaryane mapan kang amasti iku munapek, apan kang muslim iku lamun angucap-ucap tan atingal ingsya’ Allah).
- Jangan menipu orang, jangan berbohong kepada orang lain, itu membohongi diri sendiri, jangan mengadu domba (aywa ngumpet ing wong, aywa ngucap dudu ning wong, anging awakira uga dudokna, aywa ngadu-adu).
- Mengajak orang pada kebajikan dan mencegak perbuatan jelek (arep amamarahi becik ing wong, arep anyegah ing wong alaku ala).
- Jangan mengikuti kehendak setan, jangan mempercayai setiap pengaduan hendaknya berbicara (memeriksa) yang benar dan yang salah (aywa anutaken pangrancananing setan aywa idepan ing wawadalan, arep amicara kang iya kang dudu).
- Hilangkan sifat pemarah, tetaplah bersabar meskipun ada orang yang menciptakan jengkel (arep angilangaken srengen, arep sabar darana, lamon ana wong aweh kesel ing ati).
- Jangan takabur (sombong) dan berbangga diri, meremehkan orang lain, membanggakan kekayaan, kekuasaan, ucapan siapa bisa menyamai aku, tidak ada yang ditakuti. Malah sifat ujub itu tandanya suka kepada diri dan ucapannya sendiri serta tidak memperhatikan pendapat orang lain (aja takabaur, aja ujub, angalpa ing wong, gungaken ing awake saking kasugihane, saking pangawasane, saking pangucape, sapa kadi aku, tan ana kang den wedeni, malah cihnaning ujub, suka lamun aneng sarirane, sukaning wicarane, tan kaidep wicaraning wong wawaneh).
- Jangan mendengki, tidak suka apabila ada orang lain mendapat kelebihan dari Tuhan berupa harta (uang), ilmu, atau kemampuan (aja dengki, tan suka lamun ana wong winehan kalewihan dening Pangeran, atawa saking arta, saking elmune, atawa saking kabisane).
- Jangan berangan-angan dengan menyangka bahwa Tuhan itu jauh (aja ngangen-angen sangkaning adoha lawan Pangeran).
- Berupayalah mempunyai empat hal, pertama kendaraan tunggangan yang muat, rumah yang luas, pakaian yang muat, lampu untuk penerang. Rumah yang luas artinya banyak bicara perihal kebajikan, pakaian yang muat ialah sebagai ganti, lampu yang terang artinya ilmu yang benar, yang sejati (arep amadreweken patang prakara, kang sawiji, tutunggangan kang amot, griya ajembar wastra kang kaot, pandam kang apadang. Tegesing umah kang ajimbar, den akeh wicarane maring kabcikan; tegesing wastra kang kaot sampen santun; tegesing dilah kang apadang, elmu kang sabenere, kang satuhune …).
Kitab ini juga mengajarkan perihal bagaimana cara yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim untuk ber-“tapa”. Bertapa bisa dilakukan dengan shalat, membaca Al Quran, duduk (i’tikaf) di dalam masjid, dan memilih-milih teman untuk duduk-duduk (karan tapa iku, asembahyang angaji Al Qur’an, alunggwing masjid, amilih rowang alinggih).
Tulisan dalam lontar tersebut juga menekankan pentingnya mengikuti teladan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Hal itu dilakukan dengan mengikuti sikap dan menjalankan sunah-sunahnya. Seseorang yang tidak menjadikan dia sebagai teladan tidak akan dianggap sebagai umat Muhammad. Bahkan sangat mungkin akan terjerumus sebagai pelaku bid’ah atau kafir (lamun ta wong iku, tan atingkahira polahing baginda Rasulullah tan nut sunat jama’at amung pang satingkah lakune, atawa ujare kufur akeh wong iku bid’ah, dudu umat Muhammad. Kinage polahe denira baginda Rasulullah, polahe angrusak agama Islam …).
ETIKA GURU
Dalam salah satu bagiannya, Lontar tersebut memaparkan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang guru. Karakteristik tersebut dipaparkan dalam 20 (dua puluh) poin sebagai berikut:
- Memahami ilmu syari’at baik berupa perintah untuk melaksanakan maupun larangan-larangannya (arep weruh elmu syareat sekira-kirane kang kinon anglampahakna, ingkang nora kawasa ora, muwah ingkang aninggahana lan kasinggahan)
- Berpegang teguh pada kebenaran, mengikuti seluruh sunah jama’ah. Menghalangi semoga orang tidak murtad dari Agama Islam (sisiskepan arep abener, arut nut ing satingkahing sunat jama’at, aja amung pang, kalawan ta angalangana lamun ana wong tiba saking agama Islam)
- Hendaklah berupaya berhati-hatilah dalam beragama dan hiduplah dalam menjalani hidup (arep abudi, den wiweka praniti, atiti ing agama Islam, arep wicaksana tingkahing urip)
- Jadilah orang dermawan, penyayang, dan mau membantu orang yang mengalami kesulitan (loma welasan, angamuleni saniskara)
- Perhatikan dan hargai sikap para murid, anggap mirip anak cucu sendiri, pakaian dan makanan. Hal itu harapannya semoga mereka bisa menjalankan agama Islam, semoga mereka tidak berpikiran pendek. Demikian juga apabila mempunyai pembantu maka anggaplah sama mirip murid, jangan sakiti hatinya, jangan membuatnya susah. Berbuatlah yang mengenakkan hati orang. Jika ada kekeliruan jangan pribadi dibentak, tetapi ingatkanlah dengan hikmah dari para pendahulu (salaf), tetapi kalau keadaan darurat maka terpaksa lakukan itu (arep mule uninga, arep anggungaken tingkahing murid den pada gen atingkah, den kadi anak putu, pangane penganggone, arep winehan sangkanane kawasa anglampahana agama Islam, sangkane aja esak. Mangka yan arorowang den apadakaya murid, aja linaran atine, aja aweh susahe arep amakenaki atining wong. Lamun ana kaluputanne, aja age kataragal den aris, arep winaleraken rumuhun, anging laris kang darurat, arep uga linampahaken yan teka. Sing angaranipon arep hebat dening amedeken amet kabcikan ikuta saking sugih nugraha uga)
- Utamakan pekerjaan untuk alam abadi daripada dunia (arep anggungaken gawe akhirat, aja nilingi panggawe dunya)
- Berhati-hati dan tertib dalam menjalankan peraturan agama (arep nastiyapik dening nglakoni agama tarekat)
- Berani tanpa khawatir dengan ucapan orang lain (arep wani tan den sangsayaken pangucaping wong)
- Sabar dan pemaaf (arep sabar darana pangapura)
- Pasrah kepada Tuhan dan tidak berputus asa (arep pasrah ing Pangeran tan manasika ing kirya upaya)
- Bertindak dengan tujuan mulia untuk mendapat keselamatan (enging anglampahaken amet karya rahayu)
- Jika berhasil atau tidak (dalam usaha) maka hendaknya diterima dengan bahagia hati (yen oleh tan poliha, anging ananggapana suka)
- Menuruti perintah Tuhan tanpa membantah (anut sarehing Pangeran tan langgana)
- Menerima dengan suka cita kalau mendapat cobaan Tuhan terhadap dirinya (suka radin lamun ana cobaning Pangeran teka maring awake, norana rasane atine)
- Sabar menghadapi sakit atau mendapat kesusahan hati (darana lamun winehan lara, lamun winehan sekeling ati)
- Teguh dan tidak tergoyahkan apabila hendak menjalankan perbuatan baik (arep akukuh tan anambah manih, dening ayun anglampahaken rahayu karya)
- Bersyukur dan taat kepada Allah (arep sukur, santosa ing Pangeran)
- Menyembunyikan dikala sedekah (anilibaken lamun asidekah)
- Menyembunyikan apabila mendapat anugerah sakit dari Tuhan (anilibaken lamun sinung lara dening Pangeran)
- Merahasiakan ibadahnya dari insan yang lain (aningidaken pangabekti)
Selain itu seorang guru hendaknya mempunyai tanda yang lain yaitu aluwe (lapar atau menjalankan ibadah puasa),[17] atangi ring wengi (bangun malam, maksudnya berdiri untuk melaksanakan shalat malam), dan meneng alungguh dhewek (duduk terdiam sendirian). Ketiga hal ini masing-masing mempunyai tujuan dan manfaat tersendiri. Dengan menjalankan puasa maka seseorang akan mendapat cahaya. Sedangkan shalat malam akan menjadikan hati terang. Sementara itu berdiam diri sendirian akan memudahkan seseorang untuk memandang hina terhadap dunia.
PERINGATAN TENTANG KAFIR
Perilaku kufur juga mendapat sorotan dalam Lontar Ferrara. Perilaku-perilaku ini ditempatkan sebagai semua perbuatan yang sengaja menghalangi agama Islam. Perilaku yang harus dihindari oleh seorang mukmin semoga tidak terjerumus dalam kekafiran tersebut antara lain ialah sebagai berikut:
- Ikut menyembah berhala (kaya wong anembah brahala)
- Mengikuti pepujian atau upacara keagamaan orang kafir (atanapi milua ing pujiane wong kapir)
- Ikut mengeluarkan sesaji (milua ababanten)
- Merendahkan wahyu Allah, baik dengan menyangkal kebenaran maupun keberadaannya. Misalnya menganggap bahwa Al Alquran yang terdiri dari 30 juz itu bukanlah wahyu dari Allah, menyelewengkan dalil Allah, atau memaki kebenaran kalam Tuhan (anginaa sastra Pangeran, den paidoa, atawa den alpaa, kang kuran tigang puluh jus iku, deng sengguha dudua andikaning Allah. Atawa anaha analibana dalil, ing Pangeran iku atawa anglewihana, andikaning Pangeran)
- Memaki Tuhan dan Rasul utusan Tuhan atau Malaikat (yang angucapa ala ing Pangeran muwah ing sakehing utusaning Pangeran, atawa yang malaikat)
- Menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal sebagaimana yang dibicarakan dalam empat madzhab (angalalena kang haram atawa ngramna kang halal kang saujaring patang madahab)
- Menganggap sunat hal yang wajib dan menganggap wajib hal yang sunat (kang perlu den arani sunat, kang sunat diarani parlu)
- Mengaku sebagai nabi atau rasul sehabis Nabi Muhammad. Hal ini termasuk meyakini atau bahkan mengikuti orang yang mengaku sebagai Nabi sehabis dia (ana wong angakua utusaning Pangeran, ing sauwus ilanging Nabiyulllah, atawa ingajak manira atawa ing sajaman iki atawa angaku ingsun nabi atawa ikang adidepa ing ujare iku, sakabehe iku dadi kapir)
- Menuduh kafir terhadap saudaranya yang muslim[18] (wong Islam den aranana kapir, nora ta atut saking pangucape kang angucap iku dadi kapir)
- Senang apabila dianggap kafir atau berfikir sebagai orang kafir dan membantu semua perbuatan orang kafir (siang sapa suka ingaran kapir dadi kapir)
- Bersahabat dengan orang kafir, memandang baik terhadap kekafiran, dan mengikuti semua sikap kafir (lamun ana wong Islam asih ing kafir atawa aidep ing kafir, milu satingkahing kapir)
- Jika ada orang kafir yang berjanji suatu dikala akan masuk Islam kemudian mati tanpa sempat bersyahadat maka ia belum Islam (lamun ana wong kapir arep dadi Islam, ujare wong iku besuk ingsun Islam, nuli besukane mati durung ta asadat, nora dadi wong Islam iku)
- Meremehkan sunnah Nabi. Hal ini dicontohkan ketika ada orang diminta untuk mencukur rambut, memotong kuku lantaran itu ialah perintah Rasulullah. Tetapi orang itu kemudian menyampaikan bahwa dirinya menolak meskipun itu ialah dicontohkan oleh Nabi sekali pun. Penulis lontar ini menganggap bahwa itu merupakan sikap kufur (ata wong akona akurisa adastara kaki sira, atugela kuku iku laris abcik, lakunira baginda Rasulullah, den saurana ta mangkene saki lapane nora ingsun agelem kadi ujarira iku, yen lakuni Rasulullah, pan ingsun ora arep, yen ingsun aidepa kupur wong iku)
- Menghina semua Nabi (amadaa ing nabi kabeh, sakehe utusaning Pangeran)
- Menghina teman Nabi (amadaa ing sabating Rasulullah)
- Mengaku sebagai Tuhan dan berkeyakinan bahwa Tuhan tidak mengetahui segala sesuatu (sing sapa angucapa awake Pangeran kupur, utawa angucap ing Pangeran ora weruh, ingkang durung ana)
- Mengatakan bahwa dirinya sudah bertemu Allah, bidadari nirwana dan memakan buah-buahan nirwana (angucap yen wus sanpe ing Pangeran utawa angucap ya wis atetamu lan widadari atawa angucapa yan wus amangan wowohaning suwarga kabeh iku kupur)
- Melebihkan imam-imam dibandingkan para Nabi, menganggap para wali lebih agung dari Nabi, melebihkan mereka dari Nabi Muhammad (imam kang agung-agung iku, angalahaken para nabi, atawa wali den lewihakna saking nabi, den lewihakna saking baginda Muhammad, kapir)
- Dan lain sebagainya.
MEMELIHARA HATI
Lontar ini juga memuat 8 (delapan) hal yang dikatakan akan mematikan hati, antara lain ialah sebagai berikut:
- Mengetahui kewajiban berbakti kepada Allah, namun tidak mau melaksanakannya (wong kang weruh pangabektine ing Pangeran, tur tanoradena degaken)
- Membaca Al Alquran namun tidak melaksanakan isinya (amaca qur’an nora denlakoken)
- Mengaku cinta kepada Nabiyullah namun sunahnya ditinggalkan (angucap asih ing Nabiyullah tur ta sunat den tinggalaken)
- Mengucap takut mati namun tidak mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian (angucap awdi mati nora taden cangaken pakolihing kapaten)
- Mengatakan bahwa setan ialah musuh namun berlaku jelek mengikuti kejahatan setan (angucap setan pinaka satrune tur tu lumaku ala atut salaning setan)
- Mengaku takut api neraka namun menyulutkan api ke badannya sendiri (angucap awdi ing api naraka tur ta suled dawake)
- Berkata bahagia dengan nirwana namun tidak bertindak kebajikan yang membawa ke nirwana (angucap asih ing swarga tur ta nora den lampahi karya abcik kang sangkene olih swarga)
- Berkeinginan mengetahui keburukan orang lain. Ini sama halnya dengan meletakkan setan ke dalam diri, sehingga setan-setan itu mengelilingi lahir dan batinnya (lamun sira atangi dera buncalaken awakira sakehe alanira, wadanira dera pungkuraken angung dera kawruhi alaning wong, wadaning wong, oleh dosa roro sira ing Pangeran, kaya paran ta katanggapana panene dan ira iku, lamun sira ngalepana setan kang aneng awakira ikut kang angideri awakira jrone iku)
Ada pun hal-hal yang menjadi penerang hati (amadangaken ati) juga diterangkan antara lain ialah sebagai berikut:
- Shalat (asembahyang)
- Mengkaji Al Quran (angaji Qur’an)
- Duduk di dalam masjid (alungguh ing masjid)
- Bercakap-cakap dengan ulama (angucap-ucap lawan pandita)
- Memilih teman untuk duduk (amilih rowang ing alinggih)
- Mengurangi makan (aneli angirangana pangan)
- Mengurangi berkata-kata (angirangi ujar)
- Banyak bertaubat (akeh atobat)
- Membantu anak yatim (adamela sandang sing anak yatim)
- Berjemur diri di bawah sinar matahari semoga lebih sehat (tatamba arep srengenge)
- Mengambil air wudhu (amet banyu sembahyang)
- Meminum air dalam jumlah banyak (anginuma banyu den akweh)
- Sujud diiringi perasaan bahwa dirinya hanya tercipta dari tanah yang dibakar (asujuda angrasa yan dinadekan saking bhumi bong iki).
Sebagian dari hal-hal yang dimasukkan sebagai penerang hati di atas kandungannya mengingatkan akan eksistensi dan isi syair “Tamba Ati” (obat hati), sebuah tembang puji-pujian yang sangat terkenal di kalangan masyakat Jawa. Pepujian yang sering disenandungkan di Masjid-masjid Jawa pada masa lampau ini juga diyakini tercipta pada Jaman Kawalen. Salah satu versi syairnya ialah sebagai berikut:
“Tamba ati iku ana limang prekara, kaping pisan maca Qur’an sak-maknane, kaping pindho shalat wengi lakonana, kaping telu dzikir wengi ingkang suwe, kaping papat wetengira ingkang luwe, kaping lima wong kang sholih kumpulana, salah sawijine sapa bisa anglakoni Insya’ Tuhan gusti Tuhan ngijabahi” (Obat hati itu ada lima perkara, yang pertama membaca Al Alquran beserta maknanya, yang kedua kerjakan shalat malam, yang ketiga dzikir malam perpanjanglah, yang keempat perut yang lapar (puasa), yang kelima berkumpullah dengan orang-orang shalih, salah satunya kalau bisa menjalankan Insya’ Tuhan gusti Tuhan akan menyampaikan ijabah).
PENUTUP
Lontar Ferrara merupakan naskah klasik Jawa yang mencerminkan prototype anutan Islam sekitar kala XV atau XVI, era dimana Wali Sanga diyakini eksis. Kitab ini secara umum berisi pembicaraan secara umum terhadap aspek tauhid, ibadah, tafsir, dan penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs). Pembicaraan itu diantaranya berkisar perihal penafsiran Surat Al-Fatihah yang diantaranya berisi permohonan semoga umat Islam, termasuk masyarakat Jawa, tidak menjadi kaum yang dimurkai sebagaimana Yahudi dan umat yang tersesat sebagaimana Nashrani. Menerangkan pula perihal sopan santun hidup beragama yang harus dimiliki oleh seorang guru dan muslim secara keseluruhan. Juga perihal bagaimana memandang dan menjalani kehidupan dengan kebersihan hati. Intinya, kehidupan akan mencapai keselamatan apabila setiap muslim memahami anutan Islam dengan baik dan mengikuti keteladanan hidup Nabiyullah Muhammad S.a.w. Wallahu a’lam bishshawab. [Susiyanto]
FOOTNOTE
________________________________________
[1] A. Mukti Ali, The Spread of Islam in Indonesia, Yogyakarta: Nida, 1970, p. 15-16
[2] Meskipun dongeng perihal Wali Sanga tersebut telah berbalut dengan mitos dan sebagian sukar dipercaya sebagai historis namun dongeng tersebut bukan tidak ada gunanya. Setidaknya cerita-cerita ini memperlihatkan suatu nilai budaya dan pandangan hidup yang diyakini oleh masyarakat empunya cerita. Setidaknya Wali Sanga di sini digambarkan sebagai sebuah prototype lokal yang tepat untuk memperlihatkan model keislaman yang baik. Dalam kajian yang sama bisa juga diperoleh suatu kajian perihal tipe kepribadian yang banyak dianut oleh masyarakat pada dikala mitos semacam ini tumbuh. Meski demikian memang disadari bahwa mitos dan pemitosan mirip ini juga akan membawa kebuntuan terhadap hal yang bersifat lebih serius, tanpa menganggap hal yang lain tidak serius, mirip kajian sejarah atau keagamaan. Sebagai pembanding Lih: James Danandjaja, Folklor sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi, dalam Analisis Kebudayaan No. 3 Th. IV/ 1983-1984, p. 61-69
[3] Jaman Kewalen atau Jaman Kuwalen ialah ungkapan masyarakat Jawa dan juga ungkapan terkenal yang termuat dalam sejumlah naskah klasik Jawa untuk menyebut era dimana yang diyakini para anggota Wali Sanga hidup.
[4] G. W. J. Drewes, Perdebatan Walisongo Seputar Makrifatullah, Terjemahan dari An Early Javanese Code of Muslim Ethics penerjemah: Wahyudi, Surabaya: Alfikr, 2002, p. 1
[5] G. W. J. Drewes, Perdebatan Walisongo …, p. 5, 23-24
[6] M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2007, p. 94-95
[7] Syaikh Lemah Abang dianggap sebagai nama sebutan lain dari Syaikh Siti Jenar. Meskipun demikian bahwasanya pengartian kata Siti Jenar menjadi Lemah Abang atau Sitibrit (Siti Abrit) itu agak membingungkan. Kata Siti memang bermakna lemah (tanah), namun kata “jenar” harusnya diartikan sebagai warna “kuning”, bukan merah (abang).
[8] Lihat: Serat Musawaratipun Para Wali, Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa, 1959.
[9] Lihat: P. S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon, Cirebon: tp, 1984, p. 89-93; Kitab Babad Cirebon, sebuah koleksi naskah klasik yang dimiliki Kraton Kasepuhan Cirebon nampaknya tidak banyak menyampaikan informasi perihal riungan (sarasehan) ini. Lih: Tim Kraton Kasepuhan Cirebon, Babad Cirebon: Koleksi Naskah Kuno Kraton Kasepuhan Cirebon, Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2003
[10] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Juz I, Bandung: Sinar Baru Algresindo, 2000, p. 147
[11] G. W. J. Drewes, Perdebatan Walisongo …, p. 32
[12] Misalnya sedikit kekeliruan itu nampak ketika menafsirkan kata “maghdubi” (orang-orang yang dimurkai) dengan “Yahudi Nashrani”. Sementara hadits Nabi di atas menjelaskan bahwa ungkapan tersebut ditujukan untuk “Yahudi” saja. Penafsiran Ghairil ‘l maghdubi ‘alaihim dan Wa-la’l-dhallina dengan memakai hadits ini telah tercantum pada kitab-kitab tafsir yang masyhur. Hamka dalam Tafsir Al Azhar memperlihatkan bahwa hadits ini pun memerlukan penafsiran lagi. Perhatian kita hendaknya jangan hanya terpaku pada Yahudi dan Nashrani saja, namun juga difokuskan untuk memahami sebab-sebab mengapa Yahudi dikatakan kena murka dan Nashrani dikatakan tersesat. Menurut Hamka, Yahudi dimurkai oleh Tuhan lantaran mereka selalu mengingkari segala petunjuk yang dibawa oleh rasul mereka, sehingga Nabi Musa pun menyampaikan bahwa mereka “keras tengkuk”, tak mau tunduk bahkan mereka membunuh nabi-nabi. Nashrani dikatakan sesat lantaran mereka terlalu cinta kepada Nabi Isa sehingga mereka katakan Isa itu anak Allah, bahkan Tuhan sendiri bermetamorfosis menjadi anak, tiba ke dunia untuk menebus dosa manusia. Lih: Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001, p.113-114
[13] Hadits perihal pentingnya berhati-hati dalam perkataan diantaranya:
‘Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abu Al Ahwash dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berimana kepada Tuhan dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, barangsiapa beriman kepada Tuhan dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada Tuhan dan hari Akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari No. 5559)
Hadits yang serupa dengan banyak sekali variasi terdapat juga dalam Shahih Muslim hadits No. 67, 68, 69, 3255, dan lain sebagainya.
[14] Ungkapan ini bahwasanya bukan merupakan hadits atau ucapan Rasulullah. Kitab-kitab tasawuf sering membahas hal ini dalam tema perihal urgensi mempunyai guru dalam mempelajari agama.
[15] Hal ini merupakan salah satu keistimewaan anutan Islam yang berupaya memelihara dan menghormati privasi setiap individu. Hadits Nabi yang mengajarkan semoga seorang mukmin tidak mengintip rumah saudaranya kecuali ada ijin sebelumnya banyak ditemukan diantaranya ialah sebagai berikut:
‘Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan, Az Zuhri berkata; “Aku telah menghafalnya sebagaimana dirimu di sini, dari Sahl bin Sa’d dia berkata; “Seorang pria pernah melongokkan kepalanya ke salah satu kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, waktu itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tengah membawa sisir untuk menyisir rambutnya, kemudian dia bersabda: “Sekiranya saya tahu kau mengintip, sungguh saya akan mencolok kedua matamu, sesungguhnya meminta izin itu di berlakukan lantaran pandangan.” (HR. Bukhari No. 5772). Hadits serupa juga sanggup ditemukan dengan sejumlah variasi contohnya dalam H.R. Bukhari No. 6391, 6392, dan 6393; Shahih Muslim hadits No. 4013, 4014, 4015, dan 4017; Sunan Abu Dawud hadits No. 4503 dan 4504; dan lain sebagainya.
[16] Diantara keutamaan menjaga Wudhu terdapat dalam Hadits Riwayat Bukhari sebagai berikut:
‘Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Nashr telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Abu Hayyan dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, kepada Bilal radliallahu ‘anhu ketika shalat Fajar (Shubuh): “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amal yang paling utama yang sudah kau amalkan dalam Islam, alasannya ialah saya mendengar di hadapanku bunyi sandalmu dalam surga”. Bilal berkata; “Tidak ada amal yang utama yang saya sudah amalkan kecuali bahwa kalau saya bersuci (berwudhu’) pada suatu kesempatan malam ataupun siang melainkan saya selalu shalat dengan wudhu’ tersebut disamping shalat wajib”. Berkata, (Abu ‘Abdullah): Istilah “Daffa na’laika maksudnya gerakan sandal”. (HR. Bukhari No. 1081)
‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Faris telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid Al Muqri`. Dan berdasarkan jalur yang lain; telah menceritakan kepada kami Musaddad dan telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus mereka berdua berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ziyad, Abu Dawud berkata; Saya lebih hafal hadits Ibnu Yahya dari Ghuthaif, dan Muhammad berkata; dari Abu Ghuthaif Al Hudzali; Saya pernah bersama Abdullah bin Umar, ketika adzan dzuhur dikumandangkan, dia berwudhu kemudian shalat. Tatkala adzan Ashar dikumandangkan, dia berwudhu kembali, kemudian saya bertanya kepadanya (tentang hal itu), maka dia menjawab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu dalam keadaan suci (masih mempunyai wudhu), maka Tuhan menulis untuknya sepuluh kebaikan.” Abu Dawud berkata; Ini ialah hadits Musaddad, dan ia lebih sempurna’. (HR. Abu Dawud No. 57, dalam sanad hadits ini terdapat Abdur Rahman bin Ziyad bin An’um dan Ghuthaif. Terkait Abdur Rahman bin Ziyad bin An’um, para ulama mirip Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, An Nasa’i, As Saji, Ibnu Hajar Asqalani, dan Adz Dzahabi menyatakan bahwa ia “dha’if”; Ibnu Kharasy berkomentar “matruk”, Ahmad bin Hambal menyampaikan “laisa bi syai’”; dan Ya’kub bin Sufyan menyampaikan “la ba’sa bih”. Sedangkan untuk Ghuthaif, At Tirmidzi mendoifkannya)
[17] Selain sering menjalankan puasa, Rasulullah Muhammad sendiri digambarkan sebagai orang yang paling banyak mengalami lapar dibanding kenyang. Sebuah citra dari riwayat Ahmad contohnya menjelaskan hal ini:
‘Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq ia berkata, Telah menceritakan kepada kami Laits bin Sa’d dari Yazid bin Abu Habib dari Ali bin Rabah ia berkata, saya mendengar Amru bin Ash berkata, “Di waktu pagi dan sore hari kalian lebih menyayangi sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap zuhud terhadapnya. Kalian lebih menyayangi kehidupan dunia, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap zuhud di dalamnya. Demi Allah, tidaklah berlalu satu malam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali laparnya lebih banyak daripada kenyangnya.” Lalu sebagian teman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Sungguh, saya telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencari pinjaman.” (H.R. Ahmad No. 17149, dalam jalur sanad hadits ini terdapat Ali bin Rabbah bin Qumair. Ulama antara lain Ibnu Saad, Al ‘Ajli, An Nasa’i, dan Ibnu Hajar menyebut ia “tsiqat”. Ibnu Hibban mengatakan: “disebutkan dalam ats-tsiqaat”. Sementara Adz Dzahabi mengatakan: “mereka mendha’ifkannya”).
[18] Tuduhan kafir terhadap saudaranya sesama muslim bisa berakibat bahwa kekafiran itu kembali kepada salah satunya. Misalnya dinyatakan dalam hadits sebagai berikut:
‘Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr dan Abdullah bin Numair keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang pria mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim No. 91). Hadits yang semisal juga terdapat dalam hadits Bukhari No. 5638 dan lain-lainnya. (Sumber: http://susiyanto.com/wejangan-agama-dari-era-sekitar-wali-jawa/)
Tag :
BUDAYA DAN SEJARAH
0 Komentar untuk "Merangkai Jejak Aliran Islam Di Kurun Wali-Wali Jawa"
Note: Only a member of this blog may post a comment.