tentang sejarah kehidupan di tanah jawa

Sejarah Surjan Jogya

Filosofi, Sejarah, Mitos, Budaya, Jenis dan Makna Surjan Jogja

Pakaian, mode pakaian, dan gaya berpakaian menjadi ukuran lain untuk melihat karakteristik kehidupan. Pakaian juga mencerminkan sejarah, relasi kekuasaan, perbedaan pandangan sosial politik dan religi, serta menyampaikan adanya persebaran komoditi dagang dan ide-idenya (Margana, 2010: 8-9).

Pakaian dalam makna budaya menjadi identitas personal didasarkan pada keunikan karakteristik seseorang. Liliweri dalam bukunya (2009) menyampaikan bahwa identitas sosial terbentuk oleh identitas budaya. Perilaku budaya, suara, gerak-gerik anggota tubuh, nada suara, cara berpidato, pakaian, dan guntingan rambut menyampaikan ciri khas seseorang yang tidak dimiliki oleh orang lain (Liliweri, 2009: 97). Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa pakaian sanggup menjadi identitas sosial dan budaya dari kawasan tertentu yang berbeda satu sama lain dengan kawasan lainnya.

Pakaian atau dalam bahasa jawa disebut dengan “pengageman” yang menempel di tubuh yaitu simbol identitas budaya yang dalam sekali maknanya, disamping simbol lain yakni bahasa, rumah tinggal, masakan ataupun seni musik dalam kelengkapan upacara tradisi. Tanpa disadari, pakaian yang banyak dikenakan saat ini telah terbaratkan dan menjauhkan orang Jawa dari jati diri mereka. Oleh alasannya yaitu itu perlu bagi masyarakat untuk mengenal sejarah maupun makna filosofis pakaian tradisional. Dalam hal ini akan diuraikan informasi-informasi mengenai “pengageman takwa” atau surjan.

1. Sejarah Pengageman Takwa (Surjan)

Pengageman Jawa sebagai epilog tubuh dibentuk oleh Sunan Kalijaga berdasar QS Al-A’raf 26: ’’Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (dimaksud semoga selalu bertakwa kepada Tuhan SWT) itulah yang paling baik. Yang demikian itu yaitu sebahagian dari gejala kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” Oleh Sunan Kalijaga pengertian ayat diatas dijadikan model pakaian rohani (takwa) semoga si pemakai selalu ingat kepada Tuhan SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa ini digunakan hingga kini ini.

Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755, Sultan HB I menanyakan wacana pakaian yang perlu diatur kepada Susuhunan Paku Buwana III. Pangeran Mangkubumi menyampaikan bahwa Ngayogyakarta sudah siap dengan rencana mewujudkan model ’pakaian takwa’, sedang PB III menyampaikan belum siap. Lalu Mangkubumi menunjukkan rencana pakaian tersebut dan menyampaikan bila dikehendaki dipersilahkan dipergunakan oleh Surakarta Hadiningrat. PB III oke sambil menanyakan bagaimana dengan pakaian Ngayogyakarta, yang dijawab bahwa untuk Ngayogyakarta akan melanjutkan saja pengageman takwa dari Mataram yang suda ada.

Pakaian takwa sering disebut SURJAN (sirajan) yang berarti Pepadhang atau Pelita. Di dalam ajarannya HB I bercita-cita semoga pimpinan Negara dan Penggawa Kerajaan mempunyai Jiwa dan Watak SATRIYA, dimana tidak akan lepas dari sifat-sifat: Nyawiji, bertekad golong-giligbaik bekerjasama dengan Tuhan SWT maupun peraturan dengan sesama. SifatGreget (tegas bersemangat), Sengguh (percaya diri penuh jati /harga diri) dan sifat Ora Mingkuh, tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban. Maka figur satriya Ngayogyakarta ideal yakni seseorang yang dilengkapi pengageman Takwa. Bentuk pakaian Takwa adalah; Lengan panjang, ujung baju runcing, leher dengan kancing 3 pasang (berjumlah 6), dua kancing di dada kanan kiri, tiga buah kancing tertutup.

Lalu muncul surjan “ontrokusuma”yang bermotif bunga (kusuma) jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukalah kain polos ataupun lurik buatan dalam negeri saja. Namun untuk surjanontrokusuma terbuat dari kain sutra bermotif hiasan banyak sekali macam bunga. Surjan Ontrokusuma ini hanya kusus sebagai pakaian para darah biru mataram. Ketika dalam lingkungan karaton baju ini hanya boleh digunakan oleh Sri Sultan saja ataupun oleh Pangeran Putra Dalem itupun atas perintah dari Sri Sultan sendiri.

Kesaksian akan adanya informasi busana surjan ontrokusuma, sanggup dilacak dari ceritera rakyat yang hingga kini masih didongengkan secara bebuyutan oleh rakyat di sepanjang pantai selatan Kabupaten Cilacap (dahulu kala berjulukan Merden). Yaitu ketika Sultan Agung mempersiapkan penyerangan ke Batavia tahun 1928, rakyat disepanjang kawasan Merden (pesisir selatan) Kabupaten Banyumas, menyaksikan adanya seorang pangeran dari Mataram yang selalu berpakaian surjan ontrokusuma, surjan bermotif hiasan banyak sekali macam bunga. Tidak ada yang tahu siapa nama darah biru tersebut, maka rakyat setempat menyebutnya sebagai Pangeran Ontrokusuma. Beliau bertugas sebagai koordinator pengumpulan persediaan materi pangan untuk logistik bagi pasukan yang akan menyerbu Batavia, materi pangan itu dikirimkan ke Karawang, Cirebon. Sedang pasukan dari Kabupaten Banyumas dipimpin oleh Bupati Banyumas, Tumenggung Mertayudha. Kemudian muncul Surjan dengan motif Jagad yaitu kain surjan yang bermotif bunga yang tidak tegas, berbeda dengan motif Ontrokusumayang menggunakan warna yang mencolok dan motif yang beraneka ragam.

Sedang pakaian takwa untuk putri (Pengageman Janggan) dikenakan untuk Para Abdi Dalem Putri dan Keparak Para Gusti dengan warna kain hitam.Ada pula pakaian takwa untuk paraketurunan, kadang, saudara, prepat (pengiring), juga abdi terdekat dan punakawan. Pakaian ini disebut denganPengageman PRANAKAN. Pranakanberarti pakaian mencakup wadah bayi, rahim ibu. Baju terbuat dari kain lurik, bercorak garis lirik telu papat (telupat).Menurut sejarah, pengageman pranakan diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwana V yang idenya setelah kunjungan dia ke Pesantren di Banten, melihat santriwati berbaju kurung dengan lengan panjang, berlubang hingga di bawah leher. Cara pakai kedua tangan tolong-menolong dimasukkan, gres kemudian kepala masuk lubang yang terbelah, kemudian merapikan dengan menarik bab bawah baju.

Sumber: K.R.T. Jatiningrat, 2016, Rasukan Takwa lan Pranakan ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

2. Filosofi

Surjan berdasarkan KRT Jatiningrat Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta berasal dari istilah siro + jan yang berarti pelita atau yang memberi terang. Surjan juga disebut pakaian “takwa”. Oleh alasannya yaitu itu di dalam pakaian itu terkandung makna-makna filosofi yang cukup dalam, di antaranya bab leher baju surjan mempunyai kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang kesemuanya itu menggambarkan rukun iman. Rukun iman tersebut yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada utusan Allah, iman kepada hari kiamat, iman kepada takdir.  Selain itu surjan juga mempunyai dua buah kancing di bab dada sebelah kiri dan kanan. Hal itu yaitu simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi, Ashaduallaillahaillalahdan Wa Ashaduanna MuhammadaRasulullah. Ada pula tiga buah kancing di dalam (bagian dada erat perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar yang menggambarkan tiga macam nafsu insan yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut yaitu nafsu bahimah (hewani), nafsu lauwamah (nafsu makan dan minum), dan nafsu syaitoniah (nafsu setan). Terdapat 5 kancing pada bab lengan panjang kiri dan kanan. Angka 5 lazim berkaitan dengan rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji) dan juga lima priyagung dalam Islam (Nabi Muhammad, kanjeng Sayidina Ngali, Gusti Sri Ayu Patimah, Gusti Bagus Kasan, dan Gusti Bagus Kusen).

Jenis pakaian atau baju ini bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang terkandung makna filosofi yang dalam. Pakaian takwa ini di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta hanya diperkenankan digunakan oleh raja (sultan) dan para pangeran putra raja saja.

Selain itu, ada pula pakaian takwa yang dikhususkan untuk putri yang biasanya dikenakan oleh abdi dalem putri, para penabuh gamelan (wiyaga), dan para sinden serta abdi keparak sesuai dengan perintah dan tatacara yang diperkenankan oleh keraton. Baju takwa untuk putri ini berwarna hitam dan sering disebut sebagai “ageman janggan”.

Ageman janggan memiliki warna dasar hitam, warna hitam adalah simbol ketegasan, kesederhanaan, dan kedalaman. Yakni sifat kewanitaan yang suci dan bertakwa. Sedangkan janggan artinya bunga flora gadhung atau kembang gadhung. Simbol tersebuthendak melukiskan keindahan dan kesucian kaum perempuan karaton dan perempuan perempuan jawa pada umumnya.

Sedangkan pakaian takwa untuk para keturunan, kadang, saudara, prepat (pengiring), juga abdi terdekat dan punakawan disebut denganPengageman PRANAKAN. Pengageman pranakan yaitu surjan yang menyerupai dengan kaos berkerah dalam hal cara mengenakannya. Dinamakan pranakan alasannya yaitu ketika mengenakannya, seseorang menyerupai keluar dari Rahim seorang ibu. Pranakan artinya wadhah bayi atau Rahim ibu. Jadi, para abdi yang mengenakannya, layaknya seorang yang suci, murni, dan fitrah.

Pranakan juga berarti prepat, punakawan atau abdi yang erat dengan hati. Hal ini dilukiskan dengan jenis lurik yang digunakan bergaris ¾ atau telu-papat diringkas menjaditelupat. Hal tersebut mempunyai maknakewelu minangka prepat, yang berartiRinengkuh dados kadhang ing antawisipun Abdi Dalem setunggal sanesipun, kaliyan Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan. Warna pakaian yaitu Biru Tua, yang berarti sangat dalam menyerupai warna birunya maritim dalam, susah diduga, tak bisa dianggap remeh dan tidak sembarangan juga mengacu kepada kedalaman dan kekhusyukan hati.

Baju Pranakan ini memiliki bentukpada leher terdapat tiga pasang kancing berjumlah 6 buah perlambang Rukun Iman, juga disebut model belah Banten.Terdapat 5 kancing pada bab lengan panjang kiri dan kanan. Angka 5 menyerupai ini lazim berkaitan dengan rukun Islam. Proses seseorang mengenakan pengageman Pranakan digambarkan seakan si pemakai masuk ke dalam rahim ibu, lubang pranakan dimana tiap insan pernah menghuni sebelum dilahirkan. Dengan kondusif dan nyaman oleh dekapan ibu, bayi yang di dalam rahim secara alamiah tinggal, sandi Cinta Kasih golong-gilig. Pranakan yaitu juga Pakaian untuk Penggawa Kraton dengan corak dan model sama, dimaksud adanya demokratisasi di Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sumber: K.R.T. Jatiningrat, 2016, Rasukan Takwa lan Pranakan ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Senada dengan yang telah dijelaskan KRT Jatiningrat, KRT Rinta Iswara atau biasa dipanggil dengan Romo Rinta, sejarawan dan juga sebagai wakil dari Pengageng Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningratmenjelaskan makna-makna yang terkandung dalam selembar surjan (baju budpekerti jawa). Surjan merupakan sebuah pengageman takwa (libsut taqwa), sebuah pakaian rohani yang diprakarsai oleh Sunan Kalijaga (abad 16 M). Surjan mengacu kepada kata Arab yang terdiri dari abjad sa-ra-ja yang membentuk kata-kata Arab yang terdiri dari abjad sa-ra-ja yang membentuk kata-kata: surojan, sirojun, saraja, atau sarjan. Kata-kata itu terkait dengan assaraju (jamak: surujan) muniru yang artinya pelita bercahaya penerangan jalan (suluk). Enam buah kancing di bab leher mengacu kepada rukun Iman: Iman kepada Allah, Malaikat, Kitabullah, Rasulullah, Hari Kiamat, dan takdir. Dua kancing di dada kanan kiri mengacu kepada syahadatain (sekaten) atau dua kalimat syahadat. Tiga kancing bab dada yang tertutup dan tak terlihat dari luar mengacu kepada 3 macam nafsu yang harus ditinggalkan oleh seorang hamba Allah. Yakni Nafsu bahimah (hewani), nafsu lawwamah (perut), dan nafsu syaithoniyah (setan). Kedua lengan panjangnya kanan kiri berkancing 5 buah lambang Rukun Islam danmengacu kepada sifat teguh dan kukuh, yang tidak gampang terombang-ambing. Dahulu, yang diperkenankan mengenakan pengageman takwa ini hanya Sri Sultan dan para Pangeran Putra Dalem saja.

Sumber: K.R.T. Rinta Iswara (2016),Rasukan Takwa lan Pranakan ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: Tepas Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Menurut K.M.T. Sukarno Broto, Abdi dalem karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baju pranakan untuk abdiwarna pakaiannya Biru Tua dengan motif garis-garis, kancing baju dan lengan sama menyerupai surjan (pakaian takwa) maknanya yaitu mengenai ke-Islaman. Tidak semua abdi dalem mengerti makna baju takwa (pengageman takwa). Baju abdi dalem dahulu tidak diberikan oleh Karaton melainkan membuat sendiri sesuai pakem yang di berikan Karaton, namun ketika ini baju abdi dalem semuanya di berikan sehingga semuanya sama.

Abdi dalem dibagi menjadi dua. Abdi dalem punokawan dan abdi dalem keprajan Abdi dalem keprajanan ini secara umum dikuasai berasal dari kalangan PNS, akademisi, profesi dan sebagainya.

Menanggapi hal tersebut Romo Rinta, menyampaikan bahwa ketika ini setiap sebulan sekali diadakan pendidikan kilat untuk para abdi dalem karaton. Nantinya mereka akan diberitahu makna dari pakaian (pengageman), cara menggunakannya, sejarah, filosofi, sehingga baju yang digunakan tidak hanya menempel pada tubuh mereka namun juga diresapi sebagai pengingat tingkah laris yang berbudi luhur.

3. Ragam Pakaian Takwa

Berdasarkan pemaparan Romo Rinto di Tepas Widya Budaya Karaton, surjan ada bermacam-macam dilihat dari motifnya, yaitu:
  • Surjan Ontrokusumo sebagai pakaian para darah biru Mataram
  • Surjan Lurik sebagai pakaian seragam bagi pegawanegeri kerajaan hingga prajurit dan rakyat.
  • Surjan Teluh Watu (Surjan Tenun)
  • Surjan Ksatrian sebagai pakaian kebesaran pangeran
  • Pranakan
  • Janggan
4. Mitos

Penulis mendapati informasi bahwa ada yang menyampaikan bila kita menggunakan surjan maka berat tubuh akan stabil. Menurut K.R.T Condro Abdi dalem Tepas Widya Budaya jago kearsipan data Karaton mitos itu sanggup dibenarkan namun bila menggunakan cara menggunakan surjan yang benar dengan kain batik, kendit (tali), stagen, lontong (ikat pinggang). Menurut dia bisa jadi berat tubuh akan stabil alasannya yaitu tali mengikat pada bab perut dengan kencang tiap menggunakan surjan.

5. Pembuatan Surjan

Kain surjan Ageman Sultan berdasarkan Romo Rinta berasal dari materi tekstil jadi yang berhias motif bunga-bunga, materi tersebut diimport dari luar negeri. Sedangankan kain surjan lurik biasa dibentuk dengan tenunan (ATBM) atau ada pula dari materi tekstil jadi bermotif garis (K.R.T. Rinta Iswara: 2016).

Daerah spesial Yogyakarta yaitu salah satu kawasan yang mempunyai potensi tinggi di bidang kerajinan tekstil tradisional khususnya kain tenun lurik. Kain tenun lurik ini proses pembuatannya memang relatif cukup usang alasannya yaitu pengerjaannya cukup rumit. Motif yang dibentuk oleh para pengrajin tenun sangat erat dengan nilai-nilai budaya Jawa sehingga mempunyai nilai seni budaya yang tinggi.

Kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garis-garis, yang merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000).

Kain tenun lurik tradisional motif kraton tersebut, dibentuk dengan alat tenun non mesin. Di kawasan Bantul Yogyakarta, hanya ada satu pengrajin yang masih menggunakan alat tenun tradisional, yakni perajin tenun Lurik Kurnia, Di Krapyak, Sewon, Bantul.

6. Pengembangannya

Baju surjan ketika ini digunakan sebagai fashion pada masyarakat umum. Dipakai oleh anak-anak, remaja, dan cukup umur dipadu-padankan dengan bawahan celana jeans. Surjan lurik digunakan dengan kancing terbuka kemudian menggunakan kaos di dalamnya.  Motif surjan lurik juga digunakan untuk materi kain tas, dompet, dan sebagainya. Motif baju surjan lurik ketika ini banyak dijual terutama di kota Yogyakarta. Motif surjan lurik untuk masyarakat umum berbeda dengan yang digunakan oleh keraton. Warna kainnya lebih bermacam-macam dan garisnya lebih lebar.

Namun ketika peneliti menanyakan motif-motif surjan yang berkembang dimasyarakat digunakan untuk tas, dompet dan sebagainya kepada Romo Tirun. Beliau tidak oke dengan hal tersebut, hal tersebut akan merubah makna. Tidak lagi mempunyai filosofi (menghilangkan makna). Bahkan pengageman surjan bila sudah diberi penyangga bahu yang kaku menyerupai jas itu sudah tidak sanggup dikatakan lagi sebagai surjan, alasannya yaitu berdasarkan dia itu diubahsuaikan menyerupai jas yang kaku, mengacu pada budaya Eropa bukan budaya jawa (KRT Jatiningrat: 2016).

7. Nilai Positif

Romo Tirun menyampaikan bahwa nilai-nilai luhur yang sanggup diangkat dari pakaian takwa tersebut yaitu ketakwaan, persatuan dan kesatuan yang pada dasarnya “golong gilik”golong artinya bundar tidak bersudut gilik artinya silindris memanjang (tanpa sudut) yang mengandung arti persatuan dan kesatuan yang tanpa syarat yang menyatu, satu antara yang lain menyatu antara alam, sesama makhluk dan Tuhannya. Harapan para Sunan untuk masyarakat semoga bisa membuat demokratisasi mempunyai bahasa yang satu yaitu bahasa kedaton atau bahasa bagongan dengan tujuan disamakan satu dengan yang lain. Begitu pula Sultan dengan Abdi Dalem menyerupai saudara bukan menyerupai Raja dengan pembantu rumah tangga, tidak dipandang sebagai orang lain melainkan bersaudara dengan Sultan. Hal tersebut dicetuskan dengan membuat pakaian yang melambangkan persatuan dan kesatuan. Intinya yaitu gotong royong berat sama dipikul ringan sama dijinjing yaitu Pancasila 5 sila diperas menjadi 3 Sosio demokrasi Sosio nasionalisme dan Ketuhanan yang Maha Esa dari 3 sila itu menjadi 1 yaitu Eka Sila yaitu gotong royong inti daripada Pancasila yaitu gotong royong, musyawarah utuk mufakat budaya rembugan musyawarah mufakat itu berembuk bersama bukan secara voting. Inti dari falsafah baju takwa yaitu Pancasila. Salah satu pratanda keistimewaan hanya ada di Yogyakarta. Dari pakaian hingga dengan perilaku, relasi antar manusia, Tuhannya, dan dengan alam semesta.

Menurut K.M.T. Sukarno Broto semua dari kita bergotong-royong yaitu abdi dalem, yang dimaksudkan dengan abdi dalem yaitu Abdi Budaya. Semua orang sanggup menjadi abdi dalem alasannya yaitu semua orang sanggup menjadi abdi dari budaya atau mengabdikan dirinya untuk melestarikan budaya. Dengan menggunakan baju surjan maka kita sanggup menjadi Abdi Budaya di masyarakat khususnya Jawa (K.M.T. Sukarno, 2016 Abdi Dalem Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat).

8. Analisis Surjan Sebagai Simbol Budaya

a.        Kode iconic budaya Jawa

1)        Simbol
Dalam komunikasi antar budaya dikenal pula adanya pesan nonverbal. Komunikasi nonverbal mencakup tindakan-tindakan nonverbal yang tidak menggunakan kata-kata, salah satunya disebutkan dalam bukunya Liliweri (2009) yaitu perbedaan budaya yang mencakup karakteristik personal (Janet Dexter, 1995 dalam Liliweri, 2009: 175).

Istilah nonverbal sendiri dikaitkan dengan kehadiran pesan dalam bentuk simbol (pengertian konotatif). Dalam komunikasi nonverbal yang terpenting yaitu mencari makna (meaning). Simbol berdasarkan Wednesday mempunyai cara untuk berkaitan dengan rujukannya, salah satunya yaitu ikonik – sama atau menyerupai dengan objek atau konsep yang diterangkan oleh tanda (Liliweri, 2009: 177-179).

Berpakaian yaitu sebuah bahasa, sebuah sistem nonverbal dari komunikasi alasannya yaitu melalui simbol itu ditemukan langsung pemakai dan penikmatnya. Sebelum seseorang mulai bicara mengungkapkan jati dirinya, orang lain sudah bisa melihat status sosial, atau jenis kelamin orang tersebut dari pakaiannya (Liliweri, 2009: 211).

Dalam pendekatan kebudayaan khusus baju surjan sanggup diartikan sebagai alat komunikasi nonverbal yang menjadi simbol ikonik yang menyampaikan batas-batas budaya dengan nilai budaya lainnya di Indonesia. Surjan sebagai pakaian budpekerti Jawa sanggup dipelajari sebagai bentuk hasil kebudayaan, nilai, norma, kepercayaan, sistem sosial dan budaya, sistem ekonomi, mata pencaharian dan budpekerti istiadat di Jawa (Jogja pada khususnya).

2) Identitas
Menurut Romo Tirun identitas yang menempel pada ketika seseorang mengenakan baju surjan yaitu bahwa dia berarti orang jawa (jogja), beriman (bertakwa), menjunjung tinggi kecerdikan luhur masyarakat jawa yang bermasyarakat berjiwa gotong-royong. Karena memang baju surjan terutama Lurik yaitu ageman masyarakat pada jaman dahulu yang sudah menempel dengan identitas jawa (jogja) yang menjunjung kecerdikan luhur. Dan sebagai tanda keistimewaan alasannya yaitu hanya ada di jogja.

3) Budaya
Menurut Romo Tirun budaya tidak terikat oleh batas Administrasi maupun wilayah tertentu, sehingga semua sanggup menggunakan baju surjan tidak hanya orang-orang di karaton maupun di masyarakat Yogyakarta aja.  Bahkan tidak terikat oleh agama, semua agama boleh menggunakan baju takwa ketika mengerti makna atau falsafah baju tersebut. Secara simbolik harus mengerti artinya dan dimaknai sebagai fatwa hidup. Simbol tersebut jadinya menggambarkan bahwa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu karaton yang Islami dasarnya. Hal tersebut menyampaikan bahwa budaya Islam di Indonesia sangat kuat, terutama di kawasan jawa.

b. Tradisi
Tradisi berisi ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat jawa (Jogja) dengan menggunakan surjan salah satunya pada upacara Gerebeg. Gerebeg merupakan upacara selamatan kerajaan (wilujengan nagari) yang berupa upacara kurban (pada Grebeg Besar), atau sedekah (yang diwujudkan dengan gunungan) semoga raja, kerajaan (keraton) dan rakyatnya diberi perlindungan, keselamatan, ketentraman.
Upacara Gerebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun, berupa Gerebeg Maulud, Gerebeg Besar, dan Gerebeg Puasa atau Gerebeg Syawal. Semua busana keprabon/kebesaran itu pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IX sangat disederhanakan. Baik sultan maupun para pangeran hanya mengenakan busana Kejawenterdiri kain batik Parang Rusak Barong untuk Sultan, dan kain Barong yang lebih kecil ukurannya untuk para pangeran atau kain bermotif lainnya berdasarkan selera para pangeran. Baju surjan, tutup kepala berupa udheng, tanpa asesoris.

Namun baju Surjan lurik biasa sanggup digunakan masyarakat umum sehari-hari, alasannya yaitu memang baju surjan lurik dulunya yaitu pakaian masyarakat Jogja. Saat ini pemerintahan Jogja sedang menghidupkan kembali pakaian surjan lurik untuk digunakan sebagai identitas kota yaitu setiap Hari Makara Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat setiap kamis pahing 35 hari sekali bagi laki-laki. Menurut KRT Jatiningrat baju surjan lurik lebih cantik (KRT Jatiningrat, 2016). Beliau juga menyampaikan hal ini baik untuk meningkatkan perjuangan tenun di Jogja.
0 Komentar untuk "Sejarah Surjan Jogya"

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Back To Top