Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”.
Nama itu tiada lain ialah Nusantara, suatu istilah yang telah karam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada simpulan era ke-19, kemudian diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian Nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa).
Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah aku menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi, kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu, diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu orisinil antara, maka Nusantara sekarang mempunyai arti yang gres yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.
Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi terkenal penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap digunakan untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang hingga Merauke.
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana aturan dari Universitas Edinburgh.
Kemudian pada tahun 1849 spesialis etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Selanjutnya...
sumb
Nama itu tiada lain ialah Nusantara, suatu istilah yang telah karam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada simpulan era ke-19, kemudian diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian Nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa).
Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah aku menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi, kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu, diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu orisinil antara, maka Nusantara sekarang mempunyai arti yang gres yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.
Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi terkenal penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap digunakan untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang hingga Merauke.
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana aturan dari Universitas Edinburgh.
Kemudian pada tahun 1849 spesialis etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Selanjutnya...
sumb
Tag :
BUDAYA DAN SEJARAH
0 Komentar untuk "Mengapa Negara Kita Berjulukan Indonesia? Bab 2"
Note: Only a member of this blog may post a comment.